loader
ID EN

POTENSI PERIKANAN BUDIDAYA DI INDONESIA

POTENSI PERIKANAN BUDIDAYA DI INDONESIA

1.  LATAR BELAKANG

Perikanan budidaya adalah kegiatan membesarkan ikan untuk tujuan konsumsi. Mulai didata secara global oleh FAO sejak tahun 1950, pada awalnya industri perikanan budidaya memiliki output 500ribu ton setahun, sangat kecil jika dibandingkan dengan industri perikanan tangkap yang pada saat itu sudah mencapai 20 juta ton setahun. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, industri perikanan budidaya tumbuh dengan sangat cepat. Pertumbuhan paling cepat terjadi sejak tahun 1990 bersamaan dengan stagnannya industri perikanan tangkap, dan disebut oleh FAO sebagai industri makanan dengan pertumbuhan paling cepat di dunia. Pada tahun 2015, produksi perikanan budidaya global mencapai +/-90 juta ton, menyamai produksi industri perikanan tangkap global.


Sumber: FAO

Pada tahun 2015, produksi industri perikanan budidaya didominasi oleh benua Asia dengan total produksi +/-81 juta ton, 90% dari produksi global. China mendominasi dengan total produksi +/-47,6 juta ton (53% dari produksi global), diikuti oleh India dengan total produksi +/-4,9 juta ton, kemudian diikuti oleh 3 produsen terbesar di Asia Tenggara yaitu Indonesia (*tidak memperhitungkan rumput laut) dengan total produksi +/-4,3 juta ton, Vietnam dengan total produksi +/-3,4 juta ton, dan Filipina dengan total produksi +/-2,3 juta ton. Asia Tenggara menyumbang +/-11,2 juta ton ikan budidaya atau 12,4% dari produksi global.


Sumber: FAO

Diperkirakan produksi dan konsumsi ikan budidaya akan terus meningkat di masa depan melampaui perikanan tangkap.

Sumber: FAO
2.  POTENSI EKONOMI PERIKANAN BUDIDAYA DI INDONESIA

Komoditas ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di Indonesia mencakup ikan mas, ikan nila, ikan lele, ikan patin, ikan bawal, dan ikan gurame, sedangkan komoditas ikan air laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah ikan kerapu bebek/tikus, ikan kerapu macan, ikan kakap putih, ikan kakap merah, ikan baronang, ikan bawal bintang, ikan bandeng, dan bahkan ikan tuna sirip kuning. Hanya saja, industri perikanan budidaya di Indonesia masih sangat jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hal ini akan terlihat dengan jelas apabila kita membandingkan industri perikanan budidaya Indonesia dengan China dan Vietnam.

Sumber: Wikipedia

Negara China memiliki panjang garis pantai berkisar 30.000km. Pada tahun 2015 China memproduksi ikan budidaya sebanyak +/-47,6 juta ton yang terdiri dari +/-30,6 juta ton ikan air tawar, +/-15,6 juta ton ikan air laut, dan +/-1,4 juta ton ikan air payau. Dengan total nilai ekonomi industri perikanan budidaya global 156 milyar USD pada tahun 2015, pada tahun yang sama total nilai ekonomi industri perikanan budidaya China diperkirakan mencapai 75 milyar USD.

Negara Indonesia memiliki panjang garis pantai berkisar +/- 95.000km. Namun pada tahun 2015 Indonesia hanya memproduksi ikan budidaya sebanyak +/-4,3 juta ton yang terdiri dari +/-2,9 juta ton ikan air tawar, +/-1,3 juta ton ikan air laut, dan +/-0,1 juta ton ikan air payau. Angka ini sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan China, terutama jika membandingkan produksi ikan budidaya air laut Indonesia yang hanya +/-1,4 juta ton atau hanya 8% dari China yang +/- 15,6 juta ton, padahal Indonesia memiliki lebih dari 300% panjang garis pantai dengan kualitas air yang jauh lebih baik.

Apabila dibandingkan dengan negara Vietnam, Vietnam memiliki panjang garis pantai hanya berkisar 3.600km. Pada tahun 2015 Vietnam memproduksi ikan budidaya sebanyak +/-3,4 juta ton yang terdiri dari +/-2,4 juta ton ikan air tawar, +/-0,8 juta ton ikan air laut, dan +/-0,2 juta ton ikan air payau. Dengan hanya bermodalkan panjang garis pantai 4% dari panjang garis pantai Indonesia, Vietnam mampu mencapai tingkat produksi ikan budidaya air laut +/-0,8 juta ton atau setara dengan 60% produksi ikan budidaya air laut Indonesia yang +/-1,3 juta ton. Pada tahun 2018, Vietnam memproduksi ikan budidaya sebanyak +/-4 juta ton dengan total nilai ekspor mencapai 8 milyar USD.

Sumber: FAO

Sumber: FAO

Angka di atas membuktikan bahwa potensi perikanan budidaya di Indonesia sangat besar namun pemanfaatannya masih sangat rendah, terutama di perikanan budidaya laut. Bahkan, pada tahun 2016, ekspor ikan Indonesia kalah dibanding Vietnam dan Thailand baik dari segi tonnase maupun nilai jual. Padahal, Indonesia memiliki luas laut jauh lebih besar dari Vietnam dan Thailand dan apabila dikembangkan, industri perikanan budidaya mampu menyumbang devisa yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dan bisa menjadi pilar ketahanan pangan. Apabila Indonesia mampu memproduksi ikan budidaya setengah dari China saja, tentunya kemiskinan dan kelaparan akan banyak teratasi di negara ini.

Sebagai contoh, usaha budidaya ikan jauh lebih menguntungkan dari usaha kelapa sawit. Kelapa sawit membutuhkan waktu 5 tahun untuk panen pertama dan payback 7,5 tahun, menghasilkan return of investment (ROI) 13,3% per tahun. Usaha budidaya ikan membutuhkan waktu 7-12 bulan untuk panen pertama (7 bulan untuk kerapu macan, 12 bulan untuk kakap putih) dan payback 7-24 bulan saja (7 bulan untuk kerapu macan, 12 bulan untuk kakap putih, sekali panen modal kembali), menghasilkan return of investment (ROI) 50%-100% per tahun.


Panen kerapu cantang di Pangandaran. Kerjasama PT. Gani Arta Dwitunggal (Aquatec)-UNPAD


Kunjungan Bapak presiden Joko Widodo ke keramba jaring apung PT. Gani Arta Dwitunggal (Aquatec) program Emas Biru di Pangandaran.

3.  PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK KETAHANAN PANGAN INDONESIA

Ketahanan pangan suatu bangsa tidak hanya dilihat dari nilai kalori per kapita makanan yang dikonsumsi di suatu negara, melainkan juga dilihat dari kandungan nutrisi yang dikonsumsi. Protein, terutama protein hewani, adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Umumnya, seiring dengan meningkatnya GDP per kapita, akan meningkat pula konsumsi protein hewani yang dikonsumsi. Hanya saja, berdasarkan data dari EIU, konsumsi protein hewani di Indonesia tergolong rendah apabila dibandingkan dengan GDP per kapitanya.

TINGKAT KONSUMSI PROTEIN HEWANI DENGAN KEMAJUAN EKONOMI (2013)

Sumber: EIU

Konsumsi protein hewani yang rendah dapat berakibat buruk bagi pertumbuhan tubuh manusia, yang dapat berakibat pada stunting dan rendahnya kecerdasan. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya daya saing bangsa dalam era globalisasi dan hilangnya generasi penerus bangsa. Konsumsi ikan per kapita Indonesia juga masih rendah, hanya berkisar 28kg per tahun dibandingkan dengan Jepang dan Malaysia yang sudah mencapai 55kg/tahun.

Untuk meningkatkan konsumsi protein hewani di Indonesia tidaklah mudah, dikarenakan GDP per kapita negara Indonesia yang masih rendah. Oleh karenanya, diperlukan sumber protein hewani yang dapat diproduksi dengan biaya rendah untuk konsumsi masal dengan output yang teratur. Jawaban dari kendala tersebut adalah perikanan budidaya, yang mana: 1) perikanan budidaya air tawar yang berbiaya rendah dapat dimajukan untuk meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia, dan 2) perikanan budidaya air laut yang bernilai tinggi dan memiliki kandungan DHA dan Omega 3 yang penting bagi kecerdasan otak dapat dimajukan sebagai komoditas ekspor sekaligus untuk meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia.

Dari segi ramah lingkungan, usaha budidaya ikan merupakan yang paling ramah lingkungan dan paling murah apabila dibandingkan dengan hasil ternak lainnya seperti ayam dan sapi. Ayam dan sapi mengkonsumsi pakan dan air jauh lebih banyak dibandingkan dengan ikan untuk menghasilkan satu kg daging.

Melihat aspek-aspek di atas, ikan merupakan solusi yang tepat untuk ketahanan pangan Indonesia dari segi harga, kandungan nutrisi, maupun kelestarian lingkungan.

4.  MEMBANGUN INDUSTRI PERIKANAN BUDIDAYA INDONESIA

4.1  Kesiapan Industri Dalam Negeri

Membangun industri perikanan budidaya di Indonesia tidak perlu memulai dari nol. Pada tahun 2011 tercatat di database Kemenko Maritim terdapat 517.000 pembudidaya ikan air laut dan 1.623.000 pembudidaya ikan air tawar. Saat ini terdapat balai-balai perikanan budidaya di Indonesia yang meneliti berbagai jenis ikan air tawar maupun ikan air laut seperti BBRBLPP Gondol, BBPBL Lampung, BPBL Batam, BBAP Situbondo, BPBL Lombok, BPBL Ambon, dan masih banyak lagi. Secara industri, Indonesia juga memiliki banyak produsen pakan ikan. Bahkan, ada juga produsen keramba jaring apung HDPE (High Density Polyethylene) terbesar di Asia Tenggara bernama PT. Gani Arta Dwitunggal yang telah mengembangkan berbagai jenis keramba jaring apung modern seperti keramba jaring apung HDPE segi empat, keramba jaring apung HDPE offshore bundar, keramba jaring apung HDPE offshore submersible, dermaga apung, rumah apung, perahu anti tenggelam, dan lain-lain. Secara industri, sumberdaya alam, manusia, dan teknologi yang dimiliki oleh dalam negeri dipandang sudah mencukupi untuk membangun industri perikanan budidaya Indonesia.

Keramba jaring apung bundar offshore HDPE buatan dalam negeri. Sumber: aquatec.co.id

Penelitian ikan tuna sirip kuning di keramba jaring apung bundar offshore HDPE diameter 50 meter buatan dalam negeri. Sumber: aquatec.co.id

Keramba jaring apung segi empat HDPE buatan dalam negeri. Sumber: aquatec.co.id

Keramba jaring apung segi delapan HDPE buatan dalam negeri. Sumber: aquatec.co.id

4.2  Kendala Regulasi Yang Dihadapi

Saat ini, terdapat 15.800 keramba jaring apung modern berbahan HDPE yang telah dipasang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa dan pemda-pemda setempat, yang dibeli dari perusahaan dalam negeri tersebut. Keramba jaring apung HDPE ini kebanyakan digunakan untuk membudidayakan ikan kerapu, dengan komoditas pendukung ikan-ikan lokal. Pada tahun 2015, tercatat produksi budidaya kerapu sempat mencapai 5.600 ton dengan sentra produksi berpusat di Pesisir Selatan, Pandeglang, Kepulauan Seribu, Bali, Situbondo, Batam, Lampung, Simelue, Aceh Singkil, Lhoksemawe, Belawan, Banda Aceh, Sabang, Mentawai, Nias, Karang Hantu, Buton, Kendari, Bitung, Makasar, Teluk Saleh, Banyuwangi, Karimunjawa, Aceh Lampulo, dan Ambon.Namun, angka ini anjlok pada tahun 2016 dengan capaian hanya 2.000 ton, dan kemudian anjlok lagi pada tahun 2017 dengan hanya mencapai 1.000 ton. Sentra-sentra yang disebutkan di atas kini hanya tersisa Pesisir Selatan, Pandeglang, Kepulauan Seribu, Bali, Situbondo, Batam, dan Lampung dengan produksi yang tidak maksimal.

Apa yang terjadi pada tahun 2016 yang menyebabkan anjloknya produksi ikan kerapu dan tutupnya sentra-sentra perikanan tersebut? Yang terjadi pada tahun 2016 adalah munculnya kebijakan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 32 tahun 2016 yang menghambat pengambilan ikan kerapu dari pasar utamanya, yaitu China, Taiwan, dan Hong Kong. Ikan kerapu merupakan komoditas yang bernilai tinggi apabila diekspor secara hidup ke negara-negara tersebut. Contohnya, ikan kerapu tikus dapat dijual dengan harga Rp 400.000-Rp 500.000 per kg, dan ikan kerapu macan dapat dijual dengan harga Rp 130.000-Rp 150.000 per kg. Hanya saja, untuk mencapai harga tersebut, ikan kerapu harus dijual dalam keadaan hidup ke China, Taiwan, dan Hong Kong. Apabila ikan kerapu tersebut mati, maka ikan kerapu hanya dapat dijual ke pasaran lokal dengan harga berkisar Rp 40.000-Rp 60.000 per kg.

Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 32 tahun 2016 memiliki 4 poin yang perlu diperhatikan, yaitu:

1) Pasal 4, pembatasan kapal angkut ikan hidup hasil budidaya ikan di 500 GT yang sebelumnya tidak dibatasi. Hal ini mengurangi efisiensi bahan bakar secara signifikan, yang biayanya ditanggung oleh produsen kerapu lokal karena ikan kerapu mereka ditawar lebih murah oleh pemilik kapal angkut.

2) Pasal 7, pengangkutan ikan hidup untuk tujuan ekspor harus melalui pelabuhan muat singgah, dan kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing hanya diberikan izin untuk singgah di 4 pelabuhan saja di seluruh Indonesia. Sebelumnya, kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing boleh singgah langsung di keramba, yang sangat membantu pembuidaya skala kecil yang tidak memiliki kapal angkut sendiri. Implikasi dari larangan ini adalah pembudidaya kecil tidak dapat memasarkan ikan kerapunya, dan pembudidaya besar yang mampu membawa ikan kerapu mereka ke pelabuhan menggunakan kapal sendiri harus mengeluarkan biaya besar dan menghadapi tingkat mortalitas yang jauh lebih tinggi dikarenakan banyak ikan yang mati pada saat dipindahkapalkan ke kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing di pelabuhan. Hal ini membuat usaha budidaya kerapu menjadi tidak feasible. Selain itu, pembatasan izin singgah untuk kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing di 4 pelabuhan sangat membatasi akses untuk mengambil ikan hasil produksi Indonesia, padahal Indonesia memiliki 40 lebih pelabuhan. Tentunya kebijakan ini sangat tidak efisien dan menurunkan produktifitas dari infrastruktur pelabuhan di Indonesia yang sudah susah-susah dibangun oleh pemerintah.

3) Pasal 7, kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing hanya diperbolehkan singgah di 1 pelabuhan dari 4 pelabuhan yang diizinkan untuk tiap kunjungan. Apabila kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing setelah singgah di 1 pelabuhan ternyata belum penuh kargonya, maka tidaklah dimungkinkan untuk mengisi kargonya di pelabuhan lain akibat dari peraturan ini. Peraturan ini terkesan seperti mencegah negara luar untuk membeli kerapu hasil produksi Indonesia.

4) Pasal 7, kapal pengangkut ikan hidup berbendera asing hanya diperbolehkan masuk wilayah Indonesia 12 kali tiap tahun. Pembatasan jumlah kunjungan ini sangat tidak perlu dan tidak memiliki asas manfaat apapun, yang mengakibatkan Indonesia kehilangan pembeli utamanya di pasaran kerapu internasional.

Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 32 tahun 2016 mengakibatkan anjloknya produksi ikan kerapu dari 5600 ton pada tahun 2015 menjadi 1000 ton pada tahun 2017. Hilangnya nilai ekonomi budidaya kerapu adalah sebesar 4.600 ton dikalikan Rp 130.000-Rp 400.000 yaitu berkisar antara 690 miliar rupiah sampai 1,8 triliun rupiah per tahun. Padahal, industri ini telah dibangun secara seksama oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri selama 6 tahun dari sejak tahun 2010 hingga tahun 2015 dengan pertumbuhan industri yang sehat, kini upaya KKP selama 6 tahun tersebut menjadi terancam. Akibat lainnya dari peraturan ini adalah turunnya jumlah keramba jaring apung modern berbahan HDPE yang operasional dari yang semula beroperasi di atas 90% menjadi hanya 15% nya saja yang operasional, yaitu sebanyak 2.300 petak dari 15.800 petak yang terpasang. Untungnya, oleh karena kualitasnya yang baik, keramba-keramba ini masih dalam kondisi baik.

Beralih ke lobster, lobster adalah spesies konsumsi ekslusif yang biasa dikonsumsi di restoran-restoran mewah. Salah satu spesies lobster yang banyak ditemukan di Indonesia adalah lobster mutiara yang dihargai Rp. 300.000 per kg di restoran. Budidaya lobster adalah satu-satunya cara untuk memproduksi lobster dalam jumlah besar tanpa mempengaruhi kelestarian lobster alam, dikarenakan tingkat survival rate dari budidaya lobster 250 kali lebih tinggi dari survival rate lobster di alam (1% berbanding 0.004%).

Saat ini sedang berlaku Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 56 tahun 2016. Hal yang perlu diperhatikan dari peraturan ini adalah Pasal 7 yang melarang penjualan benih lobster untuk budidaya. Poin di pasal 7 ini efektif menghentikan praktek budidaya lobster di seluruh Indonesia. Saat ini, yang terjadi akibat dari Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 56 tahun 2016 pasal 7 adalah karena tidak bisa dibudidayakan di Indonesia, benih lobster ini diselundupkan dari Indonesia menuju Vietnam untuk dibudidayakan oleh rakyat Vietnam. Negara Indonesia yang merupakan surga lobster alam di dunia tidak membudidayakan lobster, akan tetapi negara Vietnam menjadi salah satu penghasil lobster budidaya terbesar di dunia dengan omzet triliunan rupiah, yang mana mayoritas benihnya berasal dari Indonesia. Hal ini tidak akan terjadi apabila benih lobster tidak dilarang dijual untuk budidaya di Indonesia. Apabila benih lobster boleh dijual untuk tujuan budidaya di Indonesia, maka tidak hanya penyelundupan benih lobster akan berakhir, Indonesia malahan bisa menjadi produsen lobster budidaya terbesar di dunia menggantikan Vietnam.

Pada tahun 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan menghabiskan dana sebesar 131 milyar rupiah untuk membeli keramba jaring apung HDPE buatan Norwegia bersertifikasi Norwegian Standard sebanyak total 24 unit yang dipasang di 3 lokasi yaitu Sabang, Pangandaran, dan Karimunjawa. Setelah diresmikan oleh Bapak Presiden Joko Widodo pada bulan April 2018, keramba jaring apung buatan Norwegia ini ditemukan rusak parah pada bulan Juni 2018 dan semua ikan yang dipelihara kabur. Hal ini membuktikan bahwa Norwegian Standard bukan merupakan standard yang cocok diterapkan di laut tropis Indonesia yang berombak besar.

Budidaya ikan kerapu dan budidaya lobster merupakan salah satu contoh kegiatan budidaya potensial yang saat ini pertumbuhannya terkendala oleh regulasi. Untuk membangun industri perikanan budidaya di Indonesia, dibutuhkan revisi peraturan untuk mempermudah pemasaran hasil budidaya ikan kerapu hidup ke luar negeri, dan dibutuhkan revisi peraturan untuk memperbolehkan penjualan benih lobster untuk budidaya di Indonesia. Selain itu, dibutuhkan juga keberpihakan pemerintah terhadap produsen dalam negeri, khususnya untuk teknologi-teknologi yang telah dikembangkan di dalam negeri oleh anak bangsa.

4.3  Mengembangkan Perikanan Budidaya di Masa Depan

Setelah kendala regulasi dihadapi, budidaya ikan kerapu dapat segera dibangkitkan dengan cara merevitalisasi keramba jaring apung modern berbahan HDPE yang saat ini telah terpasang di Indonesia. Sebanyak 13.500 petak keramba jaring apung modern berbahan HDPE berada dalam kondisi siap pakai, hanya memerlukan penggantian net dan pasokan benih dan pakan baru. Apabila keramba-keramba ini diaktifkan kembali, maka tingkat produksi ikan kerapu tahun 2015 sebanyak 5.600 ton dapat dicapai kembali hanya dalam waktu maksimal 1-2 tahun saja.

Untuk melaksanakan usaha revitalisasi ini, perlu adanya gambaran dari pemerintah mengenai jenis dan jumlah benih dan pakan yang dibutuhkan untuk revitalisasi sehingga balai-balai penelitian bersamaan dengan produsen benih dan pakan berinvestasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.  Selain untuk tujuan revitalisasi, pemerintah juga perlu mencanangkan program pengembangan perikanan budidaya untuk 5 tahun mendatang, yang mencakup: 1) Memperbaiki aspek pendataan yang ada untuk mengetahui kondisi industri perikanan budidaya yang sebenarnya di Indonesia. 2) Menentukan jenis dan jumlah keramba jaring apung, benih, dan pakan yang dibutuhkan oleh pemerintah. 3) Melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak-pihak di dalam maupun luar negeri untuk membeli komoditas hasil budidaya Indonesia. 4) Memperbanyak jumlah keramba jaring apung, benih, dan pakan. 5) Membantu pembudidaya di Indonesia tidak hanya dalam sisi pengetahuan teknis saja, melainkan juga pengetahuan mengenai sertifikasi dan perencanaan finansial sehingga usaha budidaya ikan menjadi berkelanjutan. 6) Memperkuat aspek sertifikasi untuk keramba, benih, dan pakan, sehingga menjaga dan meningkatkan kualitas hasil produksi budidaya ikan Indonesia. 7) Memperbaiki infrastruktur sehingga hasil perikanan budidaya Indonesia memiliki harga yang kompetitif. Apabila aspek-aspek tersebut di atas dijalankan, maka kegiatan budidaya ikan secara bertahap dapat menjadi mandiri dan berjalan sendiri.

Output produksi perikanan budidaya berbanding lurus dengan sarana budidaya yang tersedia di negara tersebut. Saat ini di negara China tercatat 500.000 unit keramba jaring apung, itulah sebabnya negara tirai bambo tersebut mampu memproduksi hingga +/-50 juta ton ikan budidaya pada tahun 2018. Saat ini, perusahaan keramba jaring apung HDPE berteknologi tinggi dari dalam negeri bernama PT. Gani Arta Dwitunggal siap untuk memproduksi sebanyak 10.000 petak keramba segi empat HDPE per tahun dan 500 keramba bundar offshore HDPE per tahun. Melalui penambahan jumlah keramba jaring apung yang diiringi dengan penambahan produksi benih dan pakan, maka produksi perikanan budidaya Indonesia pun akan meningkat.

Saat ini, produksi benih di Indonesia masih kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas, benih ikan yang dikembangkan di Indonesia masih belum mengalami seleksi genetika yang ekstensif untuk mendapatkan benih unggul. Benih unggul merupakan hal yang utama untuk budidaya ikan, di mana benih unggul dapat memiliki pertumbuhan yang tinggi, konsumsi pakan yang rendah, ketahanan terhadap penyakit yang tinggi, dan sifat-sifat genetik positif lainnya. Selain kurangnya benih unggul, balai-balai di Indonesia belum menjalankan biosecurity dengan baik, sehingga kemungkinan pencemaran oleh virus yang dapat merusak kualitas genetik masih sangat tinggi. Oleh karenanya, tidak hanya perluasan kapasitas yang perlu dilakukan, akan tetapi perlu adanya implementasi biosecurity yang lebih ketat dan percepatan seleksi genetika. Kedua hal ini membutuhkan biaya sangat besar sehingga memerlukan campur tangan pemerintah.

Pakan merupakan komponen biaya terbesar dari budidaya ikan, jauh melebihi keramba jaring apung dan benih. Dari segi pakan, saat ini produsen pakan di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan tepung ikan yang diimpor dari luar negeri, sehingga harga pakan ikan di Indonesia tidak sekompetitif Vietnam. Apabila sumber tepung ikan bisa diproduksi di dalam negeri, maka biaya pakan akan turun, dan produk perikanan budidaya Indonesia akan semakin kompetitif di pasaran lokal maupun internasional.

Dengan adanya dukungan dari pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta sinergi dengan perusahaan swasta dalam negeri, tentunya Indonesia bisa memulai langkah untuk menjadi negara penghasil ikan budidaya terbesar di dunia.