Tak selalu pakan tinggi protein akan memacu pertumbuhan dan menghasilkan keuntungan lebih besar. Faktanya, dengan katalisator enzimatik, pakan rendah protein pun bisa hasilkan efisiensi keuntungan tiga kali lipat pada budidaya bandeng sistem ekstensif.
Photo : Ikan Bandeng, Sumber : ap2hi.org |
Umumnya, budidaya ikan bandeng yang berkembang di masyarakat menggunakan cara ekstensif. Sumber pakan andalan dalam sistem ini dari penumbuhan pakan alami seperti klekap dan plankton. Sayangnya, keuntungan yang didapat dalam pemeliharaan ikan bandeng cukup rendah sehingga budidaya bandeng sulit berkembang. Padahal, pendekatan biokonomik memperlihatkan bahwa ikan bandeng ternyata memberikan keuntungan yang sangat menjanjikan.
Menurut Erik Sutikno, Perekayasa Madya pada Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBP-BAP) Jepara, teknologi ekstensif dari hasil uji penambahan enzim katalisator pada pakan ternyata memberikan keuntungan berlipat dibandingkan teknologi ekstensif pada umumnya menghasilkan 1.500 kg per hektar setiap 4-5 bulan dengan ukuran 5-6 ekor/kg, aplikasi penambahan katalisator enzimatik menghasilkan bandeng dengan ukuran 3-4 ekor dalam masa pemeliharaan 3 bulan. Sementara keuntungan yang dihasilkan antara Rp. 27.450.000-Rp. 31.900.000 juta per 3 bulan atau setara dengan Rp. 82.350.000-Rp. 95.700.000 per tahun.
Beda ikan, beda kebutuhan
Menurut Erik, perkembangan budidaya ikan bandeng sejak lama mengalami pergeseran paradigma nutrisi. “Pada saat pembudidaya ingin meningkatkan produksi, sifat herbivora ikan bandeng digeser ke arah omnivora atau karnivora, yaitu dengan cara memasukkan unsur tepung ikan ke dalam diet pakan,” ujarnya.
Pakan ikan bandeng yang beredar di lapangan saat ini bervariasi dengan kandungan protein antara 15-25%. Paradigma yang berkembang bahwa semakin tinggi kandungan protein dalam pakan akan mempercepat pertumbuhan ikan yang dipelihara. Akibatnya, petambak melakukan itu walaupun akhirnya nilai profit margin-nya menjadi rendah.
Rendahnya margin ini mengakibatkan budidaya ikan bandeng bukan dianggap sebagai bisnis utama.
“Pendekatan biokonomik sangat diperlukan untuk mengevaluasi penggunaan pakan formula atau pakan buatan. Benarkah pertumbuhan ikan ditentukan oleh tingginya protein? Ternyata, tidak selamanya berlaku pada semua jenis ikan. Biaya peningkatan protein dari sumber ikan cukup mahal, yaitu sekitar Rp. 250 per 1 persen protein. Dengan pemahaman anatomi dan fisiologis ikan lebih mendalam dapat merubah paradigma tersebut,“terang Erik.
Pertumbuhan ikan merupakan ekspresi dari perbanyakan sel kompleks tubuh suatu organisme. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perbanyakan sel tubuh, salah satunya yaitu tercukupinya kebutuhan energi seperti Adenosin TriPospat (ATP) yang berasal dari kelompok karbohidrase. Perubahan energi tergantung dari kemampuan aktivasi katalisator dalam pencernaan ikan. Struktur pencernaan akan menentukan proses biokimiawi dalam mengubah substrat menjadi produk energi.
Ikan bandeng memiliki sifat eksotik, pertumbuhannya yang terhenti beberapa waktu akan kembali berkembang normal saat mendapat lingkungan yang baik dan makanan yang sesuai dalam jumlah cukup. Aktivitas enzimatik dalam pencernaan mulai terbentuk saat ikan mulai lapar. Semakin merasa lapar, produksi enzim dalam pencernaan semakin meningkat.
Enzim berperan sebagai katalisator untuk merubah subtrat menjadi produk energi dan energi sangat diperlukan untuk perbanyakan sel sebagai expresi pertumbuhan. Enzim pencernaan ikan bandeng didominasi oleh karbohidrase, terbukti dari penampakan ususnya yang sangat panjang.
Jumlah enzim paling banyak ditemukan di bagian depan usus. Semakin mendekati anus, jumlah enzim yang dihasilkan semakin sedikit. Ketidakcukupan enzim mengakibatkan pakan buatan tidak dapat dicerna. Pada penggunaan pakan berprotein tinggi, pencernaan ikan tidak mampu merubah menjadi energi sehingga akan menghasilkan sampah yang banyak.
Lebih efisien dengan enzim katalisator
Secara alamiah, ikan bandeng memakan klekap yang mengandung sedikit protein dan dominan akan karbohidrat, mulai dari tingkat benih hingga bandeng dewasa sebab pencernaan ikan bandeng yang telah terbangun banyak memproduksi enzim karbohi-drase dan sedikit enzim protease.
Energi pertumbuhan sel tidak selalu berasal dari protein, tergantung dari produksi enzimatik dalam pencernaan. Ikan bandeng yang memiliki enzim protein lebih sedikit tidak akan mencerna protein tinggi sehingga sebagian protein akan dilepas melalui feses dan kondisi ini merupakan pemborosan secara ekonomis dan lingkungan. Kekurangan produksi enzimatik karbohidrase dapat ditambahkan dari luar melalui pakan, disesuaikan dengan karakter ikan.
“Aplikasi katalisator enzimatik pada pemeliharaan ikan bandeng secara ekstensif telah diaplikasikan langsung oleh pembudidaya di Desa Dukuhseti, Kabupaten Pati, dan Desa Clering, Kabupaten Jepara, pada periode tahun 2015 telah terbukti memberikan efisiensi produksi yang lebih baik,” ungkap Erik.
Ia melanjutkan, “Pemberian pakan dengan frekwensi satu kali perhari merupakan implementasi bahwa enzim harus tersedia lebih banyak sebelum ada makanan masuk dalam sistem pencernakan ikan. Produksi enzim dalam pencernaan ikan akan maksimal pada saat ikan dalam kondisi lapar puncak. Penambahan katalisator enzim melalui pakan merupakan cara untuk menambah kekurangan produksi ezim internal pencernaan.”
Saat masuk ke lambung ikan, pakan akan hancur melalui proses fisika dan kimia asam lambung dan menjadi bentuk penyusun semula (powder). Proses pemecahan mulai terjadi melalui proses enzimatik hingga terbentuk produk molekuler yang siap menembus dinding usus ikan melalui peristiwa osmosis. Selanjutnya, produk molekuler di-distribusikan ke seluruh organ target untuk memenuhi kebutuhan sel. Dengan begitu, pertumbuhan ikan akan terbentuk secara cepat dan meninggalkan sedikit feses.
Photo : Pemberian Pakan di Keramba Jaring Apung HDPE, Sumber : ekonomi.kompas.com |
Pemberian pakan dilakukan satu kali sehari antara pukul 12.00-13.00. Pakan diberikan sesuai dengan perkembangan, yaitu 2-5% biomasa. Setiap pemberian, pakan ditambahkan dengan katalisator enzimatik dengan dosis 0,025% dari jumlah pakan. Enzim ini diberikan dalam bentuk enzyme powder dengan komposisi : protease 468 UI/gram;lipase 7.990 UI/gram; amilase 1.421 UI/gram; pepsin 73 UI/gram; tripsin 27 UI/gram/ kemotripsin 27 UI/gram. Selanjutnya, enzim dilarutkan dalam air 1 liter untuk membasahi pakan sebanyak 20 kg, dianginkan sebentar, dan diberikan kepada ikan.
Pada pemeliharaan ikan bandeng di desa Dukuhseti dan Clering, digunakan pakan formula berbeda, yaitu masing-masingnya 25% dan 15%. Perbedaan protein pakan dengan menggunakan katalisator terlihat bahwa pertumbuhan ikan bandeng lebih baik pada pemberian pakan protein rendah. Penurunan protein hingga 10% dalam diet akan disubstitusi oleh karbohidrat karena harganya lebih murah.
“Pertumbuhan ikan bandeng di desa Dukuhseti dengan protein 25% menghasilkan berat ikan 3 ekor/kg dan produksi 2.500 kg. Sementara di desa Clering, dengan protein pakan 15% berat ikan yang dihasilkan 2 ekor/kg dengan produksi 2.500 kg. Hal ini membuktikan bahwa pemeliharaan ikan bandeng akan efektif menggunakan protein rendah dengan penambahan enzimatik yang sesuai,” pungkas Erik.
Photo : Panen Ikan Bandeng di Keramba Jaring Apung HDPE Produksi AquaTec |