dalam melakukan bisnisnya. Tingginya biaya pakan perikanan yang harus dikeluarkan tersebut tidak dapat dilepaskan dari komponen bahan baku penyusunnya.
Beberapa di antaranya adalah tepung ikan dan bungkil kedelai. Pasalnya, Indonesia masih bergantung pada pasokan dari luar negeri untuk dua komponen bahan baku pakan ini. Tepung ikan sangat berperan penting dalam proses pembuatan pakan sebagai penyedia protein hewani.
Hal ini, di samping karena komposisi asam amino yang bagus, juga tingkat kecernaan bahan baku ini terbilang tinggi dibanding dengan sumber protein dari bahan baku lain, terutama sumber bahan baku nabati. Di samping itu, tepung ikan juga mengandung berbagai nutrisi lain yang sangat dibutuhkan oleh ikan, antara lain omega 3 (EPA dan DHA), dan lain-lain.
Tidak hanya itu, kandungan beberapa mineral, seperti kalsium, fosfor terbilang tinggi. Nutrisi seperti asam lemak esensial (EPA dan DHA) tersebut tidak dapat disediakan oleh sumber bahan nabati. Sementara itu, bungkil kedelai pun dianggap sebagai penyedia protein nabati yang tinggi.
Namun, tingginya harga pakan menjadi masalah tersendiri bagi pembudidaya. Semakin mahal pakan, keuntungan yang didapat pun semakin menyusut. Kondisi demikian mendorong praktisi dan berbagai pihak untuk mencari sumber bahan baku local yang murah, tersedia melimpah, namun tetap berkualitas.
Seiring dengan meningkatnya harga pakan, pencarian bahan baku alternatif pun semakin gencar dilakukan. Meskipun tepung ikan dapat diproduksi dalam negeri, beberapa persyaratan tidak terpenuhi sehingga pasokan tepung ikan didatangkan dari negara lain. Hal ini tentu saja menambah biaya produksi pembuatan pakan sehingga harganya pun meningkat.
photo : Pakan
Ikan, Sumber : http://www.fish-feed-extruder.com
Permasalahan bahan baku pakan lokal
Akibat tingginya harga pakan pabrikan, tak jarang pembudidaya meracik pakan sendiri dari bahan baku yang lebih murah, di antaranya adalah yang berbahan baku nabati. Dengan demikian, biaya produksi yang dialokasikan untuk pakan dapat ditekan.
Namun, hal ini berimbas pada menurunnya tingkat kecernaan pakan. Sebagaimana diketahui, pakan yang berbahan baku dari tumbuhan membutuhkan waktu yang agak lama untuk dapat dicerna. Hal ini berbeda dengan pakan yang berasal dari hewan.
Pasalnya, sel-sel tumbuhan memiliki dinding sel (selulosa) yang menghalangi zat-zat nutrisi di dalamnya untuk dicerna lebih lanjut. Pun, komposisi asam amino yang terkandung dalam bahan nabati tidak dapat menyamai keunggulan komposisi yang dimiliki oleh bahan hewani, terutama dari ikan. Sementara itu, ikan mempunyai keterbatasan dalam menghasilkan enzim pencernaan untuk memecah dinding sel.
Beberapa komoditas pertanian lokal yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan ikan antara lain bungkil kelapa sawit, ampas sagu, ampas tahu, bungkil biji karet, bungkil kelapa, kopra, kulit buah kakao, dedak padi, daun rami, limbah singkong, limbah tanaman pisang, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, limbah perikanan dan peternakan yang berpotensi sebagai bahan baku di antaranya adalah limbah cangkang dan kepala udang, limbah ikan/ikan rucah, isi rumen, limbah bulu ayam, dan lain-lain. Sebagai alternatif bahan baku dalam pembuatan pakan ikan. Menurut salah seorang peneliti dari Riset dan Pemuliaan Budidaya Ikan Air Tawar Sukamandi, Wahyu Pamungkas, permasalahan yang terkait dengan bahan baku tersebut antara lain, tingginya kandungan serat kasar, kandungan protein kasar yang rendah, miskin keseimbangan komposisi asam amino, dan kehadiran zat anti-nutrisi.
Wahyu menambahkan, kondisi demikian mengharuskan bahan baku pakan tersebut diproses terlebih dahulu sehingga layak untuk dijadikan sebagai bahan baku pakan ikan serta pengolahan tersebut dilakukan pada saat bahan baku belum diproses dalam pembuatan pakan.
Wahyu menjelaskan, kandungan lemak yang tinggi pada bahan baku terse but menyebabkan bahan mudah sekali menjadi tengik. Sehingga, pembudidaya akan terkendala dengan masalah penyimpanan karena masa simpan pakan yang singkat. Sementara itu, kandungan serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan pakan sulit dicerna.
Di samping itu, tepung yang terbuat dari limbah bulu mempunyai masalah dengan tingkat kandungan keratin yang tinggi, keras, dan memiliki kandungan disulfida yang tinggi meskipun potensial sebagai bahan baku sumber protein. Selain itu, kemposisi asarn aminonya diketahui tidak seimbang.
Meningkatkan kecernaan bahan baku nabati
"Untuk meramu pakan ikan dari beberapa bahan baku alternatif, diperlukan pengetahuan yang dalam mengenai metode formulasi pakan dan pengetahuan mengenai kandungan nutrisi bahan-bahan tersebut," ungkap Wahyu.
Kandidat doktor di bidang akuakultur dari IPB tersebut memaparkan, Salah satu proses yang dapat memperbaiki kualitas kandungan nutrisi bahan baku tersebut yaitu fermentasi. Contohnya, ketika Wahyu melakukan penelitian tesisnya, ia menggunakan bungkil kelapa sawit sebagai bahan baku nabati lokal untuk pakan ikan.
"Saya melakukan proses fermentasi bahan baku terse but sebelum diformulasikan menjadi pakan," terangnya ketika diwawancara redaksi Info Akuakultur.
la menggunakan bungkil kelapa sawit tersebut sebagai substitusi tepung ikan penyedia protein. Selain dapat meningkatkan kecernaan bahan, teknologi fermentasi juga dapat meningkatkan kualitas nutrisi yang terkandung dalam bahan baku tersebut.
Fermentasi merupakan proses perombakan senyawa organik kompleks, baik itu karbohidrat, lemak, protein, dan senyawa lainnya, menjadi bentuk yang lebih sederhana.
Proses ini dapat berlangsung dalam kondisi aerobic maupun anaerobic dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme, misalnya bakteri atau ragi.
Apa manfaat fermentasi terhadap bahan baku pakan? Selain meningkatkan derajat kecernaan, proses penguraian, baik oleh jamur maupun bakteri ini juga dapat meningkatkan kandungan protein. Selain itu, beberapa jenis mikroorganisme mampu menyintesis vitamin dan beberapa jenis asam amino yang dibutuhkan ikan ketika proses fermentasi berlangsung. Umumnya, produk fermentasi mengandung nutrisi yang lebih tinggi dari bahan asalnya dan lebih mudah dicerna. Manfaat lain dari proses fermen tasi yaitu dapat memperbaiki rasa pakan sehingga disukai ikan. selanjutnya, bahan yang sudah mengalami fermentasi dapat disimpan lebih tahan lama dan dapat mengurangi kandungan zat beracun.
Photo : Kepala Departemen Hasil Pengolahan Perikanan, FPIK, Universitas Padjadjaran, Dr. Eddy Afrianto Sumber : unpad.ac.id |
Menurut Kepala Departemen Hasil Pengolahan Perikanan, FPIK, Universitas Padjadjaran, Dr. Eddy Afrianto, penggunaan bakteri atau ragi untuk memecah senyawa kompleks sel-sel nabati dapat membantu ikan dalam mencerna pakan. Salah satu mikroba yang tergolong kelompok ragi, dinilai mampu melakukan aktivitas biokimia sehingga dapat menyederhanakan senyawa-senyawa berantai panjang agar dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan. Dengan demikian, ikan terbantu karena tidak perlu lagi melakukan proses metabolisme pakan. Eddy Afrianto membuktikan bahwa pakan yang difermentasi terlebih dahulu menghasilkan laju pertumbuhan ikan yang lebih cepat dibandingkan ikan yang diberi pakan tanpa fermentasi. Dalam penelitiannya, ia menggunakan ikan nila dan organisme saccharomyces sebagai inoculum.
Di samping itu, proses fermentasi juga dapat digunakan untuk mengawetkan pakan yang akan disimpan. Proses ini juga bermanfaat untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang terkandung dalam bahan pakan. Bahkan, jenis mikroorganisme tertentu yang berperan dalam proses fermentasi mampu mengonversi zat pati menjadi senyawa protein melalui penambahan unsur nitrogen anorganik ke dalarn bahan.
Berbagai mikroorganisme untuk fermentasi bahan baku pakan
Eddy Afrianto menggunakan mikroba sejenis ragi dari spesies Saccharomices cereviceae. Lebih lanjut, ia memaparkan, jumlah pemberian inokulum pun turut mempengaruhi tingkat kecernaan pakan tersebut. ia mengungkapkan, pemberian mikroba yang terlalu banyak tidak berpengaruh baik terhadap laju fermentasi. Justru, populasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya kompetisi yang tinggi dalam memperoleh nutrisi sehingga proses fermentasi terhambat.
Berdasarkan pengalaman Wahyu, fermentasi bahan baku pakan lebih mudah dilakukan dengan memanfaatkan jamur yaitu penggunaan jamur Saccharomices dan Aspergillus daripada bakteri. "Penggunaan bakteri dalam fermentasi membutuhkan waktu lebih lama. Di samping itu, fermentasi seringkali gagal. Kalau menggunakan jamur, dalam waktu 3 - 4 hari, hasil sudah bisa didapat," papar Wahyu.
Mikroorganisme berikutnya yang bermanfaat untuk proses fermentasi adalah Aspergillus niger. Selain itu, kapang juga dapat dimanfaatkan untuk proses ini. Organisme selanjutnya yaitu Aspergillus oryzae. Bakteri asam laktat (Lactobacillus acidophilus) sangat popular di kalangan pembudidaya karena sudah sering digunakan dalam probiotik.
Bacillus amyloliquefaciens, mikroorganisme yang dapat meningkatkan kandungan asam amino pada bahan yang difermentasi. Selain itu, ada beberapa jenis mikroorganisme lain yang berperan dalam proses fermentasi bahan baku, antara lain Trichoderma koningii yang mampu meningkatkan kandungan protein bahan, Trichoderma harzianum, dan Rhizopus oligosporus.