Keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA) dalam mensukseskan tugas dan fungsi Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung cukup vital. Pasalnya sebagian besar aktivitas budidaya dijalankan di perairan laut. Oleh karena itu, KJA yang kuat dan tahan lama sangat diperlukan.
Menurut Kepala BBPBL Lampung Mimid Abdul Hamid, saat ini BBPBL mengembangkan sejumlah ikan konsumsi. Contohnya ikan kerapu bebek, kerapu macan, kakap putih, kakap merah, bawal bintang, dan cobia. Termasuk sejumlah ikan hias di antaranya Nemo ocelaris, Nemo percula, Blue devil, kuda laut, dan teripang. Kini tengah dikembangkan pula pola budidaya udang vannamei di KJA laut. “Namun dari semua jenis ikan tersebut yang menjadi komoditas unggulan adalah kakap putih, cobia, dan bawal bintang,” ujar Mimid ketika menerima Trobos Aqua di KJA BBPBL Lampung di Teluk Hurun, belum lama ini.
Saat ini balai yang terletak di Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran Lampung ini sudah berhasil memproduksi kakap putih, cobia dan bawal bintang secara massal. Pertumbuhannya cepat dan harga ukuran konsumsi terjangkau oleh masyarakat sehingga mempunyai peluang pasar dan berpotensi untuk dikembangkan. Bahkan, lanjutnya, telah dilakukan diseminasi teknologi dan kegiatan denfarm pada kelompok pembudidaya ikan di wilayah Lampung, Kepulauan Seribu, NTT, Bangka- Belitung dan Sumatera Barat.
Budidaya Laut
Di BBPBL saat ini produksi ikan kakap putih konsumsi mencapai 1.400 kg per siklus (sekitar 6 bulan) dari benih sebanyak 3.500 ekor dan SR (Survival Rate/daya hidup) sebesar 80 persen. “Jadi ikan yang hidup mencapai 2.800 ekor dengan berat rata-rata 0,5 kg. Untuk menghasilkan ikan seberat itu dihabiskan pakan buatan sebanyak 2,8 ton dengan FCR (konversi pakan) sebesar 1 banding 2,” jelasnya.
Untuk ikan jenis cobia, mampu dihasilkan 2.700 kg per siklus (sekitar 6 bulan) dari benih sebanyak 1.500 ekor dengan SR 60 persen sehingga ikan yang hidup mencapai 900 ekor dengan berat rata-rata 3 kg. Pembesaran cobia membutuhkan pakan 5,4 ton dengan FCR 1:2.
Sementara untuk jenis bawal bintang, dari benih 7 ribu ekor dan SR 80 persen dihasilkan 5.600 ekor dengan berat rata-rata 0,5 kg per ekor sehingga panen mencapai 2.800 kg. Untuk kebutuhan pakannya mencapai 5,6 ton dengan FCR 1:2.
“Guna mencapai total produksi per jenis ikan seperti di atas, BBPBL telah mengikuti cara budidaya yang berpedoman kepada Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Lalu benih yang ditebar pun telah sesuai dengan standar SNI yang berkualitas baik,” urai Kepala BBPBL yang sebelumnya bertugas di Balai Budidaya Air Tawar Jambi tersebut.
Fase dan Metode Budidaya
Lebih jauh soal teknis budidaya, Mimid menjelaskan, dari tiga tahapan budidaya, yakni pendederan, penggelondongan dan pembesaran, hampir semuanya dilakukan di laut. Khusus tahapan pendederan dilakukan di darat menggunakan bak terkendali atau di laut menggunakan waring ukuran 1x1x1,5 m. Untuk menekan biaya, sebagian kegiatan pendederan kini juga dilakukan di KJA karena tidak memerlukan kincir dan pompa air.
Selama pendederan, benih diberi pakan buatan dengan penambahan vitamin dan multivitamin. Pendederan di waring memiliki kepadatan 150 hingga 200 ekor/waring dan dipelihara selama 1,5 bulan.
Tahap selanjutnya adalah penggelondongan benih hasil pendederan yang dilakukan di laut menggunakan jaring mesh size (mata jaring) 0,75 - 1 inci. Di sini benih dipelihara selama 1,5 bulan pada jaring ukuran 1x1x1,5 m dengan kepadatan awal 100 - 150 ekor/jaring.
Tahap akhir dari pemeliharaan ikan adalah pembesaran dari benih yang sudah melewati tahap penggelondongan. Pembesaran dilakukan di KJA di Teluk Hurun, Kabupaten Pesawaran dengan ukuran jaring 3x3x3 m. Pada awalnya kepadatan bisa mencapai 20 ekor/m3, selanjutnya memasuki bulan ketiga dikurangi menjadi 15 ekor/m3.
Di KJA ini ikan dipelihara selama 5-6 bulan sampai dilakukan panen selektif untuk ukuran 500 gram hingga 1 kg/ekor. “Rata-rata ukuran ikan yang demikian yang memperoleh harga jual tinggi di pasar,” tuturnya.
Untuk makanan ikan digunakan pellet komersil berukuran 3 mm hingga 9 mm dengan frekuensi 1 - 2 kali sehari. Adapun dosisnya 1,5 hingga 3 persen per hari dari total biomas ikan yang dibesarkan.
KJA Modern
Saat ini BBPBL memiliki 120 lubang KJA modern berbahan High Density Polyethylene (HDPE) buatan Aquatec. Pipa-pipa yang terbuat dari bahan Polyethylene ini disusun dengan menggunakan baut stainless steel grade 304, dilengkapi bantalan sehingga mampu menjaga kelenturan terhadap gelombang laut setinggi 2 m.
Menurut Mimid, terdapat sejumlah keunggulan yang dimiliki KJA yang terbuat dari HDPE. Di antaranya, menggunakan jaring knockless (tanpa simpul) sehingga meminimalkan risiko ikan menggosokan badannya ke sisi jaring. Lalu bahan HDPE memiliki umur teknis lebih lama mencapai 15 tahun dan bahannya pun ramah lingkungan. Harganya juga tidak terlalu tinggi yakni sekitar Rp35 juta/petak.
Sementara KJA tradisional menggunakan jaring bersimpul menyebabkan ikan mudah terluka. Bahan baku dari kayu dan styrofoam juga dikhawatirkan menyebabkan peningkatan penebangan kayu serta styrofoam kurang ramah lingkungan. Lalu, umur teknisnya pun lebih pendek, yakni paling lama hanya 5 tahun. “Hanya jika ditinjau dari sisi harga memang diakui KJA tradisional lebih murah hanya Rp17 juta per lubang ukuran 3 kali 3 meter,” ungkapnya.
Meski lebih mahal, produktivitas ikan menggunakan KJA HDPE Aquatec dengan jaring ukuran 3x3x3 m mencapai 350 ekor dan akan dihasilkan 175 kg untuk berat ikan rata-rata 500 gram saat dipanen.
Khusus untuk KJA produksi Aquatec, Kepala Balai menilai, memiliki kualitas baik dan konstruksi kuat untuk menahan gelombang laut dan memudahkan untuk pengaturan. KJA Aquatec yang terbuat dari pipa-pipa lebih mudah untuk dibersihkan dari organisme penempel, seperti kerang liar (teritip). Pihaknya juga memuji Aquatec atas keberhasilannya menciptakan Keramba Jaring Apung (KJA) Submersible, yang dapat ditenggelamkan dan diapungkan kembali untuk menghindari cuaca buruk dan ombak besar. Saat ini KJA Submersible Aquatec terpasang sebanyak 1 unit dai BBPBL Lampung.